Yogyakarta – Elang brontok (Nisaetus cirrhatus) merupakan salah satu burung pemangsa (raptor) khas Indonesia. Burung ini kerap disebut sebagai "rajawali" oleh masyarakat karena ukurannya yang besar serta perawakannya yang gagah dan berkharismatik. Elang brontok dikenal sebagai raptor yang tangguh berkat kemampuannya beradaptasi di berbagai jenis habitat dan kondisi lingkungan.

Dalam dunia internasional, Elang brontok dikenal dengan nama Changeable Hawk-eagle atau Crested Hawk-eagle, yang merujuk pada dua karakteristik utama: keragaman warna bulu (polimorfisme) dan keberadaan jambul mencolok di kepala. Sebutan changeable menggambarkan variasi warna bulu yang ekstrem, dari terang hingga gelap, yang dapat berbeda antar individu dalam satu spesies. Keragaman ini sering membingungkan pengamat burung, bahkan memunculkan kesan seolah-olah mereka berasal dari spesies yang berbeda.

Selain itu, pola dan warna bulu Elang brontok juga dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Elang jantan umumnya berwarna lebih gelap dengan bintik putih di tubuhnya, sedangkan betina cenderung memiliki bulu yang lebih cerah dan kontras. Kombinasi bentuk fisik dan penampilan yang unik inilah yang membuat Elang brontok dijuluki sebagai raptor berbulu misterius

Elang brontok berukuran sedang, dengan panjang tubuh antara 60–80 cm dan berat mencapai 1,9 kg. Betina biasanya lebih besar daripada jantan. Burung ini memiliki ciri khas berupa mata besar, ekor panjang, paruh dan cakar yang kuat serta tajam, serta suara panggilan yang nyaring dan bisa terdengar dari kejauhan.

Elang brontok tersebar luas mulai dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di tanah air, burung ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sunda Besar. Secara global, populasinya masih tergolong aman dan berstatus Least Concern menurut IUCN Red List. Namun di Indonesia, tekanan terhadap populasinya terus meningkat akibat kehilangan habitat dan perburuan liar.

Elang brontok merupakan satwa yang dilindungi secara hukum di Indonesia, berdasarkan: Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 7 dan No. 8 Tahun 1999, serta Permen LHK No. P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Di Wilayah Yogyakarta, perjumpaan Elang brontok sudah sangat jarang. Berdasarkan data BKSDA Yogyakarta, tercatat hanya 12 kali perjumpaan. Salah satu temuan penting terjadi pada 1 Juli 2024, saat tim BKSDA menemukan sarang aktif Elang brontok di Kawasan Suaka Margasatwa Sermo. Sarang tersebut berada di pohon Mahoni setinggi sekitar 25 meter, dan terdapat seekor anak elang berusia sekitar 1–2 minggu di dalamnya.

Penemuan ini menunjukkan bahwa ekosistem SM Sermo masih mendukung kehidupan Elang brontok. Meski begitu, keberadaan burung ini tetap menghadapi berbagai ancaman serius, seperti: deforestasi atau kehilangan habitat hutan, perburuan dan perdagangan ilegal, dan produktivitas rendah, karena hanya bertelur satu butir setiap musim berbiak. 

Oleh karena itu, perlindungan habitat alami menjadi langkah krusial dalam konservasi Elang brontok. Sebagai pemangsa puncak, keberadaan mereka sangat penting untuk menjaga keseimbangan rantai makanan. Mereka juga memiliki nilai ekologis dan ekonomi, antara lain sebagai daya tarik wisata pengamatan burung (birdwatching) yang berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.

Pelestarian Elang brontok tidak hanya soal menyelamatkan satu spesies, tetapi juga menjaga harmoni alam dan keanekaragaman hayati Indonesia.

 

 

Sumber Poto: Fajar Pramono, S.P., Harits Surakhman, Hary Susanto, A.Md, Lukita Awang, S. Hut., M.Si., dan Y.A.C Herwanto, S. Hut., M.Sc.

Penulis naskah: Tri Hastuti Swandayani, S.Kom., M.Si. (Penata Layanan Operasional/Humas BKSDA Yogyakarta)

Editor: Desy Rachmawati, S.S. (Pranata Humas Ahli Pertama BKSDA Yogyakarta) dan Donna Susanti, S.Hut., M.P.A (Penyuluh Kehutanan Ahli Madya)

Penanggung jawab berita: Kepala Balai KSDA Yogyakarta

Kontak informasi: Call Center Balai KSDA Yogyakarta (0821-4444-9449)