Banyak yang tidak menyadari, biodiversitas di planet kita sedang berada pada ambang krisis besar. Setiap hari, ada ratusan spesies tumbuhan dan hewan yang hilang dari bumi, meninggalkan jejak kerusakan ekosistem yang tak tergantikan. Hilangnya keanekaragaman hayati ini ibarat sebuah bom waktu yang dapat mengancam keseimbangan alam serta kelangsungan hidup manusia di masa depan.

Selama berabad-abad, banyak ilmuwan bertanya-tanya, berapa jumlah spesies yang hidup di bumi ini? Kini, para peneliti telah berhasil memperkirakan bahwa ada sekitar 8,7 juta spesies yang hidup di bumi. Namun, hanya sekitar 20% yang sudah teridentifikasi secara ilmiah. Dari jutaan spesies yang sudah teridentifikasi, baru sekitar 157.000 saja yang sudah dideskripsikan morfologi dan status konservasinya. Dan dari jumlah itu, sepertiga atau sekitar 44.000 spesies berada dalam kondisi terancam punah1.

Setiap tahun, jumlah spesies yang tergolong langka dan berstatus kritis terus meningkat secara signifikan. Organisasi konservasi dunia, seperti International Union for Conservation of Nature (IUCN), mencatat lonjakan jumlah spesies yang terancam punah, dari 42.108 pada tahun 2022 menjadi 44.016 pada 2023. Bayangkan, hanya dalam kurun waktu setahun, sekitar 1.908 spesies sudah bergeser status menjadi terancam punah.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan jumlah spesies terancam punah paling banyak. Diperkirakan ada sekitar 2.432 jenis spesies terancam punah di Indonesia, mulai dari tumbuhan, jamur, hingga mamalia1. Di antara spesies tersebut, tumbuhan lah yang menyumbang kepunahan paling banyak. Di Indonesia, diperkirakan ada 1.381 spesies tumbuhan yang terancam punah.

Hilangnya spesies satu persatu

Harimau Bali, Panthera tigris balica, merupakan salah satu subspesies dari Indonesia yang dinyatakan punah. Bahkan, sejarah kepunahannya pun termasuk dramatis. Bagaimana tidak, Harimau Bali yang juga sering disebut dengan sang mong—dalam budaya Bali—harus punah karena ditembak mati di wilayah Sumber Kimia, Bali Barat, pada 27 September 1937 lalu. Meski Harimau Bali telah ditembak mati di tahun 1937, tetapi status kepunahannya baru diresmikan pada 1938.

Lalu ada ikan Pari Jawa, Java stingaree, yang dinyatakan punah sejak terlihat terakhir kali di pasar ikan Jakarta pada tahun 1862. Kepunahan ikan Pari Jawa sendiri diumumkan pada KTT iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada Desember tahun 2023 lalu2. Kepunahan ikan Pari Jawa sendiri disebabkan adanya penangkapan besar-besaran pada masa lalu. Ditambah adanya degradasi habitat pesisir yang makin melibas spesies ini dari perairan Jawa.

Sumber: FAO

Sumber: FAO

Di Amerika Serikat, tepatnya Carolina, burung Parkit Carolina dinyatakan punah pada tahun 1939. Sekali lagi, kepunahannya tidak mengherankan. Ini karena burung Parkit Carolina banyak diburu hanya untuk diambil bulunya3. Meski begitu, masih menjadi tanda tanya besar terkait kepunahannya, apakah karena diburu? Apakah karena penyakit? Atau lainnya. Namun, sebuah catatan sejarah menunjukkan bahwa sebenarnya spesies ini telah mengalami 2 kali kepunahan. Subspesies barat yang punah pada tahun 1914, serta subspesies timur yang diperkirakan hanya mampu bertahan hingga tahun 1940-an.

Krisis biodiversitas terus berlanjut. Indonesia bukan satu-satunya wilayah yang mengalami kepunahan masif. Di Guam, kawasan yang juga dikenal karena keanekaragaman hayatinya, burung kecil bernama kaua'i'o'o resmi dinyatakan punah pada tahun 20231. Burung dengan suara nyanyian yang khas ini merupakan jenis terakhir dari burung penghisap madu Hawaii yang masih bertahan hidup. Kicauan terakhir burung ini terdengar pada tahun 1987. Sejak saat itu, keberadaannya tidak ditemukan lagi. Banyak yang memperkirakan, kepunahan burung ini karena adanya epidemi malaria unggas, yang ditularkan oleh nyamuk. Ditambah adanya pembabatan hutan yang masif dan mengganggu habitat kaua'i'o'o.

Mengapa ini bisa terjadi?

Beberapa penyebab utama dari kehancuran biodiversitas ini adalah perusakan habitat, perubahan iklim, dan aktivitas manusia yang tak terkendali. Deforestasi hingga perburuan liar juga masih menjadi ancaman serius bagi flora maupun fauna yang hidup harmonis di habitat aslinya. Hutan-hutan tropis yang seharusnya menjadi rumah bagi lebih dari setengah spesies darat dunia pun kini terkikis dengan cepat. Bayangkan, jika satu hutan tropis saja dihancurkan, maka ada ratusan bahkan ribuan spesies yang mungkin akan kehilangan tempat tinggalnya.

Di sisi lain, perubahan iklim menambah tekanan besar terhadap spesies yang sudah kesulitan beradaptasi. Suhu bumi yang makin panas mengubah pola musim dan menyebabkan adanya bencana alam tak terduga. Hal ini, secara tidak langsung telah memaksa spesies bermigrasi atau beradaptasi dengan cepat.

Sementara itu, masih banyak orang yang menganggap remeh hilangnya spesies. Padahal, hilangnya spesies memiliki efek domino bagi ekosistem. Misalnya saja, menurunnya populasi lebah yang berperan sebagai penyerbuk utama tanaman. Hal ini tentu membuat tanaman pangan yang bergantung pada penyerbukan akan terancam. Alhasil, panen gagal dan pasokan pangan untuk hewan maupun manusia akan berkurang.

Lantas, apakah efek domino ini bisa dicegah? Situasi kepunahan spesies memang cukup mengkhawatirkan. Namun, bukan berarti hilang harapan untuk mencegahnya. Upaya konservasi, penetapan kawasan lindung, hingga program rehabilitasi habitat bisa dilakukan untuk memperlambat kepunahan. Terlebih, saat ini ada banyak lembaga maupun instansi pemerintah—termasuk BKSDA Yogyakarta—yang bekerja sama untuk menyelamatkan spesies dari ambang kepunahan. Dalam hal ini, kesadaran masyarakat pun harus ditingkatkan, terutama yang mendukung keberlanjutan sumber daya alam serta melindungi keanekaragaman hayati lokalnya.

Kembalinya spesies yang sempat hilang dan munculnya spesies baru

Di tengah gelombang kepunahan yang terus bertambah, ternyata masih ada sedikit harapan. Spesies yang sebelumnya dinyatakan punah, akhir-akhir ini mulai terlihat lagi keberadaannya. Di Indonesia, ada Belida jawa, Chilata lopis, yang sebelumnya dinyatakan punah pada tahun 2020, lalu ditemukan kembali pada tahun 2023. Hal serupa terjadi pada Ekidna Moncong Panjang, Zaglossus attenboroughi, yang diperkirakan punah tahun 1961, dan kini dikonfirmasi masih hidup. Meski tidak banyak, kemunculan kembali spesies yang telah punah ini, memberikan harapan dalam upaya konservasi.

Di sisi lain, beberapa ilmuwan dari California Academy of Sciences berhasil mengidentifikasi serta mendeskripsikan 153 spesies baru pada tahun 20231. Spesies tersebut meliputi: 66 jenis laba-laba; 20 jenis siput laut; 18 jenis tanaman; 13 jenis bintang laut; 12 jenis tokek; 10 jenis kumbang; 5 jenis ikan; 4 jenis cacing; 2 jenis tawon; 1 jenis kalajengking; dan jenis skink tak berkaki.

Temuan spesies baru ini tentu memberikan optimisme di tengah ancaman besar terhadap biodiversitas. Meski ada kabar baik mengenai penemuan spesies baru ini, ternyata saat ini ancaman kepunahan tetap jauh lebih besar jumlahnya. Bahkan, menurut Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, ada sekitar 150 spesies yang diperkirakan punah setiap harinya, atau sekitar 10% per harinya4.

Krisis kepunahan spesies ini tentu menuntut perhatian serius dari seluruh dunia. Bagaimana tidak, ketika ada lebih banyak spesies yang punah, tentunya kita juga akan kehilangan potensi sumber daya genetik yang bermanfaat bagi pangan, kesehatan, hingga teknologi di masa depan. Untuk itu, konservasi bukan lagi menjadi upaya menyelamatkan spesies langka, tetapi sebagai kebutuhan yang akan memastikan keberlangsungan hidup di planet ini. Tindakan nyata dari semua pihak—termasuk pemerintah, organisasi konservasi, dan masyarakat—sangat dibutuhkan untuk menghentikan bom waktu biodiversitas ini sebelum semuanya terlambat.

 

Sumber:

1Oktavianto, Pradhipta. Spesies Terancam Punah Terus Bertambah. 2024. https://www.forestdigest.com/detail/2514/spesies-terancam-punah/?msg=login.

2Pristiandaru, Danur Lambang. Ikan Pari Jawa Dinyatakan Punah, Aktivitas Manusia Penyebabnya. 2023. https://lestari.kompas.com/read/2023/12/16/100000886/ikan-pari-jawa-dinyatakan-punah-aktivitas-manusia-jadi-penyebabnya#:~:text=Pengumuman%20punahnya%20ikan%20pari%20jawa,Jakarta%2C%20Indonesia%2C%20pada%201826.

3Begum, Tammana. 2021. Reviving The Cold Case of The Carolina Parakeet Extinction. https://www.nhm.ac.uk/discover/news/2021/july/reviving-the-cold-case-of-the-carolina-parakeet-extinction.html.  

4Pearce, Fred. 2015. Global Extinction Rates: Why Do Estimates Vary So Wildly? https://e360.yale.edu/features/global_extinction_rates_why_do_estimates_vary_so_wildly.

Penulis naskah: Desy Rachmawati, S.S.

Penanggung jawab berita: Kepala Balai KSDA Yogyakarta