Cagar Alam Batu Gamping merupakan situs cagar budaya berupa batu gamping dan area altar persembahan bekakak sebagai kawasan cagar alam. Kawasan Cagar Alam Gunung Gamping terletak pada hamparan daerah bekas penambangan batu gamping yang terbentuk pada jaman eosin 50 juta tahun yang lalu. Susunannya terdiri dari satu gundukan batu berwarna putih, putih kemerahan, sampai abu-abu. Pada retakannya dijumpai gejala kristalisasi dari mineral kalsit. Pada batu gamping ini banyak pula dijumpai fosil-fosil binatang laut yang sebagian berupa fragmen. Fosilnya terdiri dari jenis Moluska, Koral, Bryozoa, dan Feraminifora.
Kawasan Cagar Alam Batu Gamping telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 758/Kpts-ll/89 pada tanggal 16 Desember 1989. Luas total Kawasan Cagar Alam Batu Gamping yaitu 1,084 ha yang terdiri dari Cagar Alam seluas 0,015 ha dan Taman Wisata Alam seluas 1,069 ha yang berupa petak persawahan dan tanah kering.
Keberadaan kawasan Cagar Alam Batu Gamping berkaitan erat dengan keberadaan Keraton Yogyakarta. Pasca Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi wilayah Mataram menjadi dua bagian, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) bermukim selama setahun di Pesanggrahan Ambarketawang, kaki Gunung Gamping, sembari membangun Kraton Ngayogyakarta. Perpindahan Sultan HB I dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Keraton Yogyakarta hingga saat ini diperingati sebagai Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pengabdian Gunung Gamping untuk pembentukan kota Yogyakarta masih terus berlanjut. Sebagai sumber batu kapur terdekat dari pusat kota, kapur dari Gunung Gamping digunakan untuk pengganti semen pada bangunan-bangunan penting masa itu seperti jembatan, Kraton Yogyakarta, Benteng Baluwarti dan Istana Air Taman Sari.
Pada era selanjutnya kapur dari Gunung Gamping dieksploitasi secara besar-besaran sebagai penjernih sari tebu pada industri gula. Tercatat pada tahun 1860 sebanyak 19 pabrik gula beroperasi di Yogyakarta menghasilkan 2.892 ton gula pasir dan menggunakan sekitar 361,5 ton kapur. Industri gula saat itu mampu mengembalikan kejayaan perekonomian dari keterpurukan ekonomi akibat Geger Sepoi dan Perang Jawa.
Sebagian rekam jejak sejarah kebumian pada masa awal terbentuknya Pulau Jawa tersimpan di Gunung Gamping, dalam bentuk singkapan batuan. Gunung Gamping pada awal terbentuknya berada di laut dangkal pada 200 LS atau berjarak kurang lebih 1400 km selatan Yogyakarta (setara dengan Benua Australia saat ini). Pembentukannya di selatan Jawa, menunjukkan bahwa daerah ini mengalami pergerakan ke utara dengan kecepatan 4-6 cm/ tahun. Gunung Gamping terbentuk dalam ekosistem terumbu dari foraminifera besar, bersama ganggang, coral dan moluska. Berbagai fosil dari fauna ini dapat dilihat langsung tanpa mikroskop di tubuh Gunung Gamping.
Perjalanan Gunung Gamping menuju kepastian status perlindungan
Jalan panjang menuju laku konservasi, monolit Gunung Gamping berstatus cagar alam dengan setumpuk pekerjaan rumah untuk menjaganya tetap berdiri utuh.
1956 : Werner Rothpletz dn M.M Purbo Hadiwidjojo mengusulkan agar tinggalan Gunung Gamping dilindungi.
1975 : Direktorat Geologi menyatakan telah meninjau Gunung Gamping. Disimpulkan bahwa tinggalan itu berasal dari Kala Eosen.
1976 : UPN Veteran memohon kepada Menristek agar Gunung Gamping mendapatkan perlindungan Direktur Pertambangan menyetujui usulan Direktur Geologi untuk melindungi tinggalan Gamping sekaligus menjadikannya pusat wisata.
5 Februari 1977 : Menteri Pertambangan mengusulkan kepada Menteri Pertanian agar kawasan Gamping dijadikan suaka alam, sesuai Nature Bescherming Ordonansie 1941
6 April 1977 : Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam bersurat kepada Pemda DIY, meminta persetujuan agar kawasan Gamping ditetapkan sebagai Cagar Alam dan Taman Wisata Alam
26 September 1977 : Pengageng KHP Wahana Sarta Kriya menyatakan persetujuan Sultan HB IX atas usulan tersebut
21 Juli 1982 : melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 526/Kpts/Um/7/1982 area ini ditunjuk sebagai cagar alam dengan luasan 0,015 Ha dan sebagai taman wisata dengan luasan 1.102 Ha
1985 : tata batas fungsi dilakukan hasilnya tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan Tata Batas, 19 Agustus 1985
1989 : SK Menhut No.758/Kpts-II/1989 taanggal 16 Desember 1989 menetapkan kawasan seluas 1,084 Ha sebagai Cagar Alam dan Taman Wisata Alam