Kawasan pesisir Jangkaran terletak di Kalurahan Jangkaran, Kapanewon Temon, Kabupaten Kulonprogo.  Kalurahan Jangkaran terletak kurang lebih 5 km ke arah barat dari Kantor Kapanewon Temon dengan luas kawasan mencapai 365,64 Ha (10,08% dari total kawasan dalam Kapanewon Temon). Kalurahan Jangkaran secara geografis berada di koordinat 110°02’25” BT dan 7°53’05” LS. Secara administrasi kawasan pesisir Kalurahan Jangkaran memiliki batas sebagai berikut,
Utara    : Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah
Timur    : Kalurahan Sindutan, Kapanewon Temon
Selatan    : Pantai Selatan Yogyakarta (Samudera Hindia)
Barat    : Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah


Kawasan pesisir Jangkaran merupakan wilayah pesisir (pantai) yang berada di wilayah administrasi Kalurahan Jangkaran di sebelah barat Pantai Congot. Wilayah ini terdiri atas beberapa penggunaan lahan saat ini (existing land use), antara lain: vegetasi mangrove, vegetasi pantai Cemara udang, tambak udang, dan budidaya pertanian. Kawasan pesisir Jangkaran, mulai dikenal luas oleh masyarakat DIY dan sekitarnya sejak adanya wisata mangrove yang dikembangkan di wilayah ini, yaitu Mangrove Wana Tirta. Penanaman mangrove pertama dilakukan pada periode 2005 – 2006 oleh salah satu dosen UGM (Ibu Piter Suganda). Namun, vegetasi mangrove banyak yang rusak karena terganggu oleh kerbau milik masyarakat yang memakan daun mangrove yang ditanam, di mana setiap KK pada saat itu bisa memiliki hingga 10 ekor kerbau. Upaya pencegahan yang dilakukan saat itu dengan memagari tanaman yang ditanam, namun tidak berdampak nyata. Beberapa tahun kemudian, kerbau semakin berkurang karena tidak ada yang menggembalakan dan akhirnya sebagian besar dijual.

Upaya pelestarian mangrove berikutnya diteruskan dan dipelopori oleh Mbah Warso, salah satu tokoh masyarakat setempat. Sehingga kemudian berkembang menjadi kelompok konservasi mangrove berupa Kelompok Tani Hutan (KTH) Wana Tirta. KTH Wana Tirta giat melaksanakan kegiatan penanaman mangrove di sepanjang pesisir Jangkaran. Terbentuknya vegetasi mangrove banyak mengundang akademisi baik pelajar maupun peneliti untuk melakukan penelitian maupun belajar. Kegiatan tersebut akhirnya berkembang dan menarik masyarakat dari luar untuk berkunjung dan berwisata di hutan mangrove Wana Tirta.

Dengan semakin banyaknya kunjungan wisata dan pendapatan yang diperoleh dari kunjungan tersebut, maka kelompok-kelompok masyarakat di sekitarnya mulai mengembangkan obyek wisata mangrove dilengkapi dengan fasilitas dan daya tarik lainnya. Beberapa kelompok tersebut antara lain kelompok wisata mangrove Kadilangu, kelompok wisata Mangrove Jembatan Api-api (MJAA), dan kelompok wisata Maju Lestari.

Tahun 2019, kurang lebih selama 8 bulan muara Sungai Bogowonto tertutup karena pasir laut naik dan menutup muara sehingga aliran sungai tidak dapat keluar ke laut dan menggenang. Karena kejadian tersebut jenis tanaman mangrove Avicennia pada lahan seluas 4,5 ha mati karena penggenangan berlebihan.

Kawasan pesisir Jangkaran sebagian besar merupakan tanah negara yang dikelola oleh kelompok masyarakat dan aparat desa setempat. Kawasan sepanjang pesisir tersebut merupakan lahan yang ditanami mangrove, bahkan pada tahun 2021 BPDAS mencanangkan penanaman di wilayah Padukuhan Kadilangu sebagai bagian dari program PEN dengan target 10.000 bibit tanaman mangrove terdiri dari jenis Avicennia, Bruguiera, Rhizophora, dan Nipah. Status lahan yang digunakan untuk penanaman mangrove merupakan Tanah Pakualaman (Pakualaman Ground) atau tanah PA. Pakualaman Ground merupakan istilah untuk bidang tanah yang dimiliki oleh Kadipaten Pakualaman, tidak dikomersialkan, dan diakui oleh negara melalui undang-undang keistimewaan. Sebagian tanah tersebut dikelola oleh masyarakat untuk budidaya tambak, pemukiman, maupun sebagai tempat wisata.

Status lahan yang digunakan untuk budidaya tambak merupakan Tanah Pakualaman, yang mana masyarakat memanfaatkan secara turun-temurun dengan hak pengakuan dan beberapa lahan berstatus Letter C. Yang dimaksud dengan Letter C tanah adalah merupakan buku register pertanahan yang ada di desa atau kampung atas kepemilikan tanah di wilayah tersebut secara turun temurun. Sebagian wilayah merupakan tanah hak milik berupa lahan pertanian yang dikelola masyarakat. Tanah tersebut sebagian besar ditanami padi, sedangkan pada musim kemarau biasanya petani menanam palawija.